Alkisah, di sebuah pesantren, ada seorang santri yang menimba ilmu di pesantren tersebut. Dia belajar di pesantren dan sambil kuliah. Santri tersebut memiliki banyak masalah. Sangking banyak masalah yang dihadapinya, sehingga dia tidak sanggup lagi untuk menghadapinya. Pada suatu hari dia berniat untuk mengadukan masalah itu kepada gurunya, yaitu sang pemilik pesantren, untuk mendapatkan jalan keluarnya.
Dia pun berkata : "Guru, sesungguhnya saya ini memiliki banyak masalah yang tidak mampu lagi saya selesaikan. Seakan-seakan saya ingin mengakhiri hidup ini agar semua bisa selesai. Saya memiliki hutang yang menumpuk. Sudah dua bulan ini kiriman dari orang tua terlambat, karena di kampung keluarga sedang menghadapi krisis ekonomi, lantaran ibu saya sedang sakit. Sehingga ayah harus bekeja keras lagi untuk mencukupi kebutuhan pengobatan ibu saya, di samping biaya hidup dan sekolah adik-adik saya. Saya sebagai anak lelaki tertua merasa berat untuk meminta uang kepada ayah, namun sementara di sisi lain saya sangat membutuhkan uang, mengingat status saya masihlah seorang mahasiswa dan belum memiliki pekerjaan sehingga segala sesuatunya masih bergantung pada ayah.
Selain itu di kuliah, skripsi saya menemui jalan buntu, tidak kunjung selesai.Selalu menemui jalan buntu. Sedangkan keluarga di kampung sudah sering menayakan kapan saya wisudah, kapan lulus. Pertanyaan itu sering menghantui saya sehingga membuat saya semakin terpuruk. Sungguh masalah yang saya hadapi ini sudah terlampau berat. Bisakah Guru memberikan jalan keluar untuk permasalahan saya ini ?
"Oh begitu ?" Kata gurunya. "Kau benar-benar ingin keluar dari permasalahanmu itu ?"
"Benar Guru. Sungguh saya sudah tidak mampu lagi menghadapinya. Tolong bantu saya guru".
"Kalau begitu pergilah ke dapur, dan ambilkan segelas air putih dan setengah gelas garam".
"Tapi untuk apa dengan garam dan air itu Guru ?"
"Sudah, ambilkan saja".
Dengan penuh rasa bingung, sang murid tetap bergegas mengambil apa yang dimintakan oleh Gurunya karena rasa patuhnya kepada sang Guru.
"Ini Guru, garam dan air-nya".
"Bagus, sekarang tuangkan setengah dari garam tersebut ke dalam air, aduk dan minumlah".
"Serius Guru ? air itu pasti akan terasa sangat asin. Mana mungkin saya meminumnya ? Apakah itu akan mampu menyelesaikan masalah saya ? ".
"Apakah kamu serius ingin keluar dari masalahmu ?"
"Iya serius Guru. Saya sangat serius".
"Kalau begitu minumlah saja, nanti kamu akan tau jawabannya.".
"Baiklah Guru, saya minum".
Sang murid pun meminum air adukan garam tersebut sampai habis. Rasanya sangat asin hingga dia hampir muntah, tapi dia tetap menghabiskannya.
"Bagaimana rasanya ?" Kata Gurunya.
"Asin sekali guru. Saya seperti ingin muntah".
"Apakah itu telah menyelesaikan kegundahan yang kau rasakan ?"
"Sama sekali tidak Guru. Bahkan saya semakin terasa berat permasalahan saya".
"Sekarang ikut Guru, bawalah serta garam yang tersisa itu".
"Tapi kita mau kemana Guru ? Bagaimana dengan masalah saya ? Bukankah Guru telah berjanji untuk membantu menyelesaikan masalah saya ?'.
"Iya, ikut saja dulu". Kata Gurunya.
"Baiklah Guru".
Sang Guru mengajak muridnya melakukan perjalanan. Perjalanan yang lumayan jauh dan melelahkan. Sang murid mulai merasa lelah dan kehausan, apalagi dia baru saja meminum air adukan garam yang begitu asin. Itu membuat tenggorokannya tersiksa kehausan. Setelah beberapa lama melakukan perjalanan, sampailah mereka di suatu tempat di tepian danau.
"Kita telah sampai".
"Sampai ke mana Guru ? Tidak ada apa-apa di sekitar sini. Yang ada hanyalah Danau yang luas ini".
"Iya, memang danau inilah tujuan perjalanan kita".
Sang murid terdiam kebingungan.
"Sekarang mana sisa garam yang kau bawakan tadi ? masih ada kan ? ".
"Iya Guru, ini masih saya bawa".
"Sekarang taburilah garam tersebut ke danau ini, tunggulah beberapa saat dan minumlah air danaunya".
Setelah beberapa saat, sang muridpun mulai meminum air danau tersebut. Air danau itu begitu bersih, jernih dan terasa sangat segar, sehingga sang murid tidak henti-hentinya meminum air danau tersebut dengan sangat lahapnya.
"Bagaimana rasanya air danau itu ? Apakah terasa asin ?". Tanya sang Guru.
"Tidak sama sekali Guru. Air ini sangat segar sehingga saya terus meminumnya sehingga hilang semua rasa haus saya".
"Nah, apakah kau sudah memahami apa makna dari semua ini ?"
"Maksud Guru ?". Tanya sang murid kebingungan.
"Sekarang dengarkan penjesan Guru.
"Baik Guru".
"Sesungguhnya apa yang telah Guru perintahkan dari tadi kepadamu, bukanlah tanpa maksud. Tapi ada pelajaran yang tersimpan jika kamu bisa perhatikan dengan baik. Coba kamu ingat, sebenarnya Garam dan air yang Guru suruh ambilkan adalah sebuah perumpamaan dari permasalahanmu itu.
Garam : adalah perumpamaan dari masalah yang kamu hadapi, sedangkan
Air : adalah perumpamaan dari hati yang kamu miliki."
Ketika masalah datang, dan volume hati kamu hanya sebatas air yang ada dalam gelas, begitu sedikit dan sempit, maka yang terjadi adalah seluruh hatimu akan terasa asin. Seluruh bagian hatimu akan terkontaminasi dengan asin-nya masalah yang datang, sehingga tidak ada lagi ruang di hati kamu yang masih bersih. Kamu tidak akan mampu mengatasi masalahmu jika hati kamu sesempit air dalam gelas, kamu tidak bisa berfikir dengan jernih.
Tapi coba kamu perhatikan danau ini. Bayangkan jika hatimu seluas air danau. Maka garam dengan jumlah yang sama dengan yang dituangkan ke dalam gelas, tidak akan mampu membuat air danau ini menjadi asin. Itulah hati manusia. Sebesar apapun masalah yang kamu hadapi, tapi jika hatimu lebih luas, maka setiap masalah yang datang akan dengan mudah dihadapi dan diselesaikan. Karena masih banyak ruang di hatimu yang bisa dipakai untuk memikirkan solusi bagi penyelesaian masalah".
"Ketahuilah wahai muridku, sesungguhnya masalah yang kamu hadapi itu tidak lebih besar dari apa yang Guru hadapi. Masalah yang Guru hadapi lebih banyak dan lebih kompleks lagi dari masalahmu. Kamu hanya menghadapi masalahmu saja, sementara Guru, harus memikirikan semua kebutuhan santri yang ada di pesantren ini. Sedangkan santrinya Guru bukan hanya kamu saja, tetapi ribuan orang yang sepertimu. Selain memikirikan santri dan pesantren, Guru juga memiliki istri dan anak di rumah, yang harus dipenuhi setiap kebutuhannya. Tapi Guru selalu menjalaninya dengan hati yang luas, sehingga masalah demi masalah bisa dilewati dengan baik".
"Sekarang, apakah kamu sudah faham wahai muridku ?". tanya Gurunya.
"Iya Guru, sekarang saya baru faham. Ternyata selama ini penyebab kegundahan hati saya adalah karena terlalu sempitnya hati saya. Sehingga saya bahkan tidak mampu dan tidak sempat berfikir untuk mencari solusinya, yang bisa kulakukan hanyalah mengeluh dan mengeluh. Sekarang saya sadar Guru. Terima kasih telah membuka jalan buat saya, terima kasih telah memberikan jawaban atas permasalahan saya. Ini lebih dari pada yang kuharapkan".
Sejak saat itu sang murid terlihat lebih ceria. Dia tidak pernah lagi mengeluh atas masalah yang dia hadapi. Karena dia telah memiliki hati yang luas sehingga dia mampu menyelesaikan setiap masalah yang menghampirinya. Tidak lama kemudian dia pun lulus dan wisudah, dia mendapatkan pekerjaan, dan dapat menyelamatkan keadaan ekonomi keluarganya, bahkan dia juga mampu membiayai sekolah adik-adinya.
Kisah selesai sampai di sini. semoga artikel
Keterangan :
"Kisah ini penulis kembangkan dari cerita ustadz ketika pengajian. Adapun isi dialognya, hanya karangan penulis saja. Jika pernah mendengar cerita serupa, mohon ditambakan kekurangannya".
Selain itu di kuliah, skripsi saya menemui jalan buntu, tidak kunjung selesai.Selalu menemui jalan buntu. Sedangkan keluarga di kampung sudah sering menayakan kapan saya wisudah, kapan lulus. Pertanyaan itu sering menghantui saya sehingga membuat saya semakin terpuruk. Sungguh masalah yang saya hadapi ini sudah terlampau berat. Bisakah Guru memberikan jalan keluar untuk permasalahan saya ini ?
"Oh begitu ?" Kata gurunya. "Kau benar-benar ingin keluar dari permasalahanmu itu ?"
"Benar Guru. Sungguh saya sudah tidak mampu lagi menghadapinya. Tolong bantu saya guru".
"Kalau begitu pergilah ke dapur, dan ambilkan segelas air putih dan setengah gelas garam".
"Tapi untuk apa dengan garam dan air itu Guru ?"
"Sudah, ambilkan saja".
Dengan penuh rasa bingung, sang murid tetap bergegas mengambil apa yang dimintakan oleh Gurunya karena rasa patuhnya kepada sang Guru.
"Ini Guru, garam dan air-nya".
"Bagus, sekarang tuangkan setengah dari garam tersebut ke dalam air, aduk dan minumlah".
"Serius Guru ? air itu pasti akan terasa sangat asin. Mana mungkin saya meminumnya ? Apakah itu akan mampu menyelesaikan masalah saya ? ".
"Apakah kamu serius ingin keluar dari masalahmu ?"
"Iya serius Guru. Saya sangat serius".
"Kalau begitu minumlah saja, nanti kamu akan tau jawabannya.".
"Baiklah Guru, saya minum".
Sang murid pun meminum air adukan garam tersebut sampai habis. Rasanya sangat asin hingga dia hampir muntah, tapi dia tetap menghabiskannya.
"Bagaimana rasanya ?" Kata Gurunya.
"Asin sekali guru. Saya seperti ingin muntah".
"Apakah itu telah menyelesaikan kegundahan yang kau rasakan ?"
"Sama sekali tidak Guru. Bahkan saya semakin terasa berat permasalahan saya".
"Sekarang ikut Guru, bawalah serta garam yang tersisa itu".
"Tapi kita mau kemana Guru ? Bagaimana dengan masalah saya ? Bukankah Guru telah berjanji untuk membantu menyelesaikan masalah saya ?'.
"Iya, ikut saja dulu". Kata Gurunya.
"Baiklah Guru".
Sang Guru mengajak muridnya melakukan perjalanan. Perjalanan yang lumayan jauh dan melelahkan. Sang murid mulai merasa lelah dan kehausan, apalagi dia baru saja meminum air adukan garam yang begitu asin. Itu membuat tenggorokannya tersiksa kehausan. Setelah beberapa lama melakukan perjalanan, sampailah mereka di suatu tempat di tepian danau.
"Kita telah sampai".
"Sampai ke mana Guru ? Tidak ada apa-apa di sekitar sini. Yang ada hanyalah Danau yang luas ini".
"Iya, memang danau inilah tujuan perjalanan kita".
Sang murid terdiam kebingungan.
"Sekarang mana sisa garam yang kau bawakan tadi ? masih ada kan ? ".
"Sekarang taburilah garam tersebut ke danau ini, tunggulah beberapa saat dan minumlah air danaunya".
Setelah beberapa saat, sang muridpun mulai meminum air danau tersebut. Air danau itu begitu bersih, jernih dan terasa sangat segar, sehingga sang murid tidak henti-hentinya meminum air danau tersebut dengan sangat lahapnya.
"Bagaimana rasanya air danau itu ? Apakah terasa asin ?". Tanya sang Guru.
"Tidak sama sekali Guru. Air ini sangat segar sehingga saya terus meminumnya sehingga hilang semua rasa haus saya".
"Nah, apakah kau sudah memahami apa makna dari semua ini ?"
"Maksud Guru ?". Tanya sang murid kebingungan.
"Sekarang dengarkan penjesan Guru.
"Baik Guru".
"Sesungguhnya apa yang telah Guru perintahkan dari tadi kepadamu, bukanlah tanpa maksud. Tapi ada pelajaran yang tersimpan jika kamu bisa perhatikan dengan baik. Coba kamu ingat, sebenarnya Garam dan air yang Guru suruh ambilkan adalah sebuah perumpamaan dari permasalahanmu itu.
Garam : adalah perumpamaan dari masalah yang kamu hadapi, sedangkan
Air : adalah perumpamaan dari hati yang kamu miliki."
Ketika masalah datang, dan volume hati kamu hanya sebatas air yang ada dalam gelas, begitu sedikit dan sempit, maka yang terjadi adalah seluruh hatimu akan terasa asin. Seluruh bagian hatimu akan terkontaminasi dengan asin-nya masalah yang datang, sehingga tidak ada lagi ruang di hati kamu yang masih bersih. Kamu tidak akan mampu mengatasi masalahmu jika hati kamu sesempit air dalam gelas, kamu tidak bisa berfikir dengan jernih.
Tapi coba kamu perhatikan danau ini. Bayangkan jika hatimu seluas air danau. Maka garam dengan jumlah yang sama dengan yang dituangkan ke dalam gelas, tidak akan mampu membuat air danau ini menjadi asin. Itulah hati manusia. Sebesar apapun masalah yang kamu hadapi, tapi jika hatimu lebih luas, maka setiap masalah yang datang akan dengan mudah dihadapi dan diselesaikan. Karena masih banyak ruang di hatimu yang bisa dipakai untuk memikirkan solusi bagi penyelesaian masalah".
"Ketahuilah wahai muridku, sesungguhnya masalah yang kamu hadapi itu tidak lebih besar dari apa yang Guru hadapi. Masalah yang Guru hadapi lebih banyak dan lebih kompleks lagi dari masalahmu. Kamu hanya menghadapi masalahmu saja, sementara Guru, harus memikirikan semua kebutuhan santri yang ada di pesantren ini. Sedangkan santrinya Guru bukan hanya kamu saja, tetapi ribuan orang yang sepertimu. Selain memikirikan santri dan pesantren, Guru juga memiliki istri dan anak di rumah, yang harus dipenuhi setiap kebutuhannya. Tapi Guru selalu menjalaninya dengan hati yang luas, sehingga masalah demi masalah bisa dilewati dengan baik".
"Sekarang, apakah kamu sudah faham wahai muridku ?". tanya Gurunya.
"Iya Guru, sekarang saya baru faham. Ternyata selama ini penyebab kegundahan hati saya adalah karena terlalu sempitnya hati saya. Sehingga saya bahkan tidak mampu dan tidak sempat berfikir untuk mencari solusinya, yang bisa kulakukan hanyalah mengeluh dan mengeluh. Sekarang saya sadar Guru. Terima kasih telah membuka jalan buat saya, terima kasih telah memberikan jawaban atas permasalahan saya. Ini lebih dari pada yang kuharapkan".
Sejak saat itu sang murid terlihat lebih ceria. Dia tidak pernah lagi mengeluh atas masalah yang dia hadapi. Karena dia telah memiliki hati yang luas sehingga dia mampu menyelesaikan setiap masalah yang menghampirinya. Tidak lama kemudian dia pun lulus dan wisudah, dia mendapatkan pekerjaan, dan dapat menyelamatkan keadaan ekonomi keluarganya, bahkan dia juga mampu membiayai sekolah adik-adinya.
Kisah selesai sampai di sini. semoga artikel
Pentingnya Memiliki Hati yang luas
ini dapat memotivasi kita semua dalam menjalani problema kehidupan. Amiin.. :) Baca juga artikel "Pentingnya Persepsi untuk mencapai Sukes"Keterangan :
"Kisah ini penulis kembangkan dari cerita ustadz ketika pengajian. Adapun isi dialognya, hanya karangan penulis saja. Jika pernah mendengar cerita serupa, mohon ditambakan kekurangannya".
Keren.
ReplyDeleteSangat memotivasi.
Ok Terima kasih..
ReplyDeleteMenyadarkan yang pastinya!
ReplyDeleteIya semoga kita akan senantiasa tersadar sehingga diberikan keluasan hati oleh Allah, sehingga bisa menyelesaikan masalah dengan baik dan bijaksana..
Delete